Sunday, April 10, 2016

fauzan ahyar : Doa Aufa

Doa Aufa
karya: Fauzan Ahyar

                Hari ini tidak kalah ramai dari kemarin. Sudah biasa, anak-anak kecil membludak di masjid setiap sore hari bulan Romadhon untuk TPA. Aku berada ditengah-tengah mereka, membimbing dan mendidik mereka sebagaimana mestinya.
                Anak-anak tidak terlalu terkesan dengan caraku berkomunikasi dengan mereka. Mungkin karena aku juga tidak terlalu menyukai anak-anak. Terlebih lagi aku mengampu anak kelas 3 SD, dan mereka selalu bosan setiap kali aku mengajar, sehingga mereka lebih memilih untuk lari-larian bersama teman-temannya.
                “Sekarang kita akan belajar tentang sholat, ada yang tau sholat ada berapa?” ujarku lantang.
                “Limaaaa..,” jawab mereka.
                “Mamat, sebutkan satu persatu!”
                “Shubuh, Dzuhur, …”
                Mataku tidak fokus menyimak apa yang dikatakan Mamat, ekor mataku terganggu oleh suara seorang anak yang berlarian. Benar saja, anak itu lagi.
                “Aufa, sini duduk! Apa susahnya sih duduk yang anteng, ndengerin!”
                Aufa merengut. Dia salah satu anak yang paling menyebalkan karena nggak pernah memperhatikan penjelasanku. Dia duduk paling banter hanya dua menit, sebelum akhirnya kembali berlarian. Dan yang lebih mengesalkan lagi, dia memprovokasi teman-temannya untuk ikut berlarian.
                Aku pernah mendengar kalau anak yang nakal biasanya hanya ingin mencari perhatian dari orang lain. Mereka mau belajar, hanya saja kita harus tau cara belajar yang nyaman untuknya. Aku mendengus, apanya yang mau belajar, sudah bagus kalau dia mau duduk tenang. Mendengarkan.
                “Tuh kan nggak didengerin,” Mamat mendengus.
                Aku tertegun, “eh iya, iya, dilanjutin.”
                Justru si Aufa yang nyeletuk, “haha, nggak bisa ngelanjutin ya?”
                Kujewer telinga Aufa, “daritadi main-main terus, emang kamu bisa?”
                Aufa meringis sambil mengelak, “lha aku bosen. Eh mas, main game hape aja dong.”
                Ingin rasanya kujewer telinganya lebih kencang, tapi dia sudah meloloskan diri dari radius tanganku yang akan menjewernya.
                Aku geleng-geleng kepala, “sekarang kita hafalan doa aja yaa. Siapa yang sudah hafal doa untuk kedua orang tuaa?”
                Hampir semua anak mengacungkan tangan, kecuali tiga anak, yang tentunya ada Aufa diantara mereka. Aku berhasil menarik tangannya sebelum dia berhasil bangun untuk lari-larian lagi. “yang sudah hafal setoran sama Mas Zaki ya, kamu tetep disini, tak ajarin doanya.” Kataku sambil menatap tajam mata Aufa.
                Aufa merengut lagi, “halah mas, mas, mending maen hape aja kayak kemaren.” Aku melotot,  aku benar-benar menyesal kenapa kemarin aku mengajak mereka bermain hape.
                “Gini aja, kamu tak ajarin doa untuk kedua orangtua, kalo bisa hafal tak kasih hapenya ke kamu, maen sepuasnya sampe adzan maghrib. Gimana?”
                Aufa tidak menjawab, tapi ekspresinya sedikit berubah. Tanpa basa-basi, aku menuntunnya membaca doa untuk kedua orang tua itu kata per kata. Dia hanya menirukan tanpa semangat. Mungkin dalam benaknya ia hanya ingin bermain hape, tidak ada yang lain.
                “Robbighfirli, robbighfirli, robbighfirli, ulang sepuluh kali.”
                Aufa hanya menirukan saja. Aku tidak peduli, terus kutuntun dia membaca doa itu, kata per kata.
                “Wa liwaalidayya, wa liwaalidayya, ulang juga sepuluh kali.”
 Ia tidak menolak, ia mengikuti setiap kata yang kubaca. Tanpa kuduga, ia bisa melafalkannya lebih baik dari teman-temannya, walau belum hafal sepenuhnya.
                “Udah aja mas, bosen!” Aufa menarik tangannya dari genggamanku, lalu tiduran. Mungkin dia lelah berlarian. Aku benar-benar kesal, kukira dia sudah mau belajar. Tapi aku tidak menunjukkan kekesalanku padanya, karena aku tahu ia akan menjadi lebih liar dari sebelumnya apabila aku menegurnya. Aku hampir kehabisan ide untuk mengajar anak ini.
                “Kalo hari ini kamu hafal, dan besok masih hafal doa ini, tak kasih lima ribu deh, gimana?” ujarku putus asa. Tiba-tiba dia bangun, setuju.
                Dasar anak-anaaaak!
                Aku mendengus dalam hati, kalau setiap hari harus diiming-imingi seperti ini, bisa dipastikan aku sudah bangkrut total di hari terakhir TPA. Tapi untungnya kali ini dia lebih serius menghafal. Tapi konsentrasinya buyar saat teman-temannya mengganggunya.
                “Halah, Faaa, sok-sokan banget pake hafalan doa segala.”
                Aufa kesal, tapi anehnya, dia tidak membalas perkataan mereka. Teman-temannya heran, aku juga heran.
                “Nggak usah didengerin, fokus hafalan aja.” Aku mencoba mengajaknya untuk fokus kembali. Aufa juga mencoba untuk mengulangi hafalannya, mengabaikan teman-temannya. Tapi yang mengejek-nya tidak hanya satu dua orang, membuatnya kesal dan dia benar-benar berhenti.
                “Udah lah mas, nggak bakalan hafal juga.” Kata Aufa pesimis.
                “Besok kukasih lima ribu, lho.” Ujarku mengiming-iminginya. Dia tetap tidak bergeming, diam seribu bahasa. Aku terus membujuknya untuk mengulang hafalannya sekali lagi, tapi dia tetap diam. Kesal.
                Aku ikut terdiam. Beberapa menit berlalu dan aku masih terdiam menatap Aufa yang kini tidur-tiduran di tikar, melamun.
                “Dicoba sekali lagi, Fa. Sekaliii lagi.”
                Aufa menengok.
“Sekali aja.”
Ia terdiam sejenak. Tanpa kuduga-duga, ia membaca doa itu, tersendat-sendat.
Robbighfirli..wa liwaalidayya..warhamhumaa kamaa robbayanii soghiroo.”
                Aku tertegun. Dia berhasil menghafal doanya, tidak ada masalah. Mungkin agak berlebihan, tapi aku benar-benar terharu mendengarnya.
                Aufa sendiri terheran-heran dengan doa yang barusan dilantunkannya, ia tidak mengira akan berhasil menghafalkan doa tersebut. Matanya berbinar-binar. Aku menyerahkan hapeku kepadanya, dan membiarkannya bermain game dengan muka yang berseri-seri. Dia bahkan mengajak teman-temannya untuk bermain bersamanya dengan wajah yang sangat manis.
                Sore itu, aku melihat wajah Aufa yang benar-benar ceria.              

                 

beratnya hidup sebagai petani


Makanan orang Indonesia tidak pernah lepas dari yang namanya nasi. yaa nasi nasi yang itu berasal dari olahan padi menjadi beras yang dimasak hingga jadilah nasi. Pernahkah kalian sebelum makan bersyukur dulu karena kalian tidak harus berkerja sebagai petani dulu untuk memakan sesuap nasi? . Mungkin kalian berkuasa atas limpahan uang yang dimiliki saat ini. tapi apakah uang yang selama ini kalian kumpulkan bisa kalian makan langsung? Kan juga tidak. Maka dari itu syukurilah rezeki yang ada, serta berterima kasihlah kepada petani dengan cara tidak membuang Cuma-Cuma sisa makanan yang kita makan sehari-hari. Di bawah ini akan saya jelaskan kepada kalian betapa beratnya kerja sebagai petani, yang mungkin bermanfaat bagi kita semua untuk bisa lebih bersyukur dan tidak kufur nikmat yang telah di berikan Allah SWT di dunia ini.
Bersyurlah kalian tidak pernah diharuskan memanen padi dulu sebelum memakan nasi putih. Apa kalian pernah merasakan lelahnya para petani memanen padi untuk dijadikan sebutir beras?. Mungkin sebagian dari kalian sudah pernah merasakan, tapi bagi yang belum? Bagaimana? . yaa ini akan kita bahas bagaimana sulitnya para petani memanen padi untuk dijadikan sebutir beras. Menurut perhitungan saya sendiri, keuntungan dari para petani padi itu tidak sebanding lurus dengan kerja keras mereka selama ini. Mengapa?, ya jika kalian berpikir tenaga serta uang yang mereka keluarkan itu juga tidak sedikit. Dari yang itu ngarit, bayar pekerja, sampai menggilingnya menjadi beras, itu belum termasuk luka serta bahaya lainnya jika mereka sedang memanen saat di sawah. Di sawah mereka harus siap gatal, siap lelah, siap terkena binatang berbahaya yang ada di sawah.
Dari sini mungkin kalian hanya bisa membayangkan, tapi kalian tak akan bisa merasakan betapa susahnya perjuangan para petani untuk membuat beras demi makan kalian sehari-hari. Di sini akan saya ceritakan pengalaman saat membantu kakek saya memanen di sawah, yaa mungkin hanya sehari saya dapat membantu mbah saya, dikarenakan hanya bisa perpulangan 1 hari saat dirumah. Jadi, selayaknya cucu yang berbakti kepada  mbahnya maka saya mau tidak mau harus membantu mbah saya ke sawah. Ini pengalaman saya saat di sawah.
1.       Tulang punggung sakit (boyokkan) dan lutut linu
Ini tantangan pertama bagi para petani padi di sawah saat ingin memanen. Mereka harus jongkok atau merunduk untuk memotong padi dikumpulkan menjadi  tumpukan padi supaya padi nanti tinggal di angkat ke pusat penggilingan. Ini anda harus tahan lelah, telaten, serta konsentrasi. Karena mengapa? Karena, jika tidak konsentrasi saat memotong bisa-bisa jari kita menjadi korban sayatan arit.
2.       Gatal-gatal yang luar biasa
Mengapa saya bilang begitu?. Ya karena, saat saya mengangkat padi yang sudah dipotong tadi unuk dibawa kepusat penggilingan, badan ini sangat gatal, khususnya di bagian leher. Rasa gatal dari manen padi itu masyaAllah luar biasa gatalnya, susah untuk menghilangkannya dalam sekejap. Bahkan, saat sudah di rumah atau 2-3 hari setelah manen, masih terasa rasa gatalnya. Dan iu tidak boleh di garuk, karena jika digaruk itu malah menjadi luka.
3.       Berhadapan dengan hewan predator.
Ya bertemu hewan predator. Walaupun hewan-hewan di sawah itu kecil-kecil teman, tapi ya ampun hewan-hewan predatornya sangat mengerikan. Contoh saja tomcat dan pitak. Mungkin teman-teman semua sudah tau tomcat, tomcat tidak menyengat atau menggigit. Cairan hemolimf yang terdapat di dalam badan (kecuali sayap) kumbang ini mengandungi racun sentuhan hewan yang paling berbisa di dunia. Toksin ini dikenali sebagai ‘aederin’: (C24 H43 O9 N) dinamakan dalam tahun 1953. Cairan ini disinyalir 12x lebih mematikan dari bisa ular kobra. (- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/03/21/18914-tomcat-si-mungil-yang-mengandung-racun-berbahaya.html#sthash.DLm8Xmdj.dpuf)
4.       Kulit menjadi tambah eksotis
Ya tidak bisa dipungkiri lagi. Orang yang sering ke sawah itu kulitnya tambah eksotis, yak arena orang yang sering ke sawah itu harus berhadapan langsung dengan panasnya terik matahari. Ya gak salah jika kulit para petani Indonesia itu kulitnya pada eksotis semua, jadi idaman kulit orang eropa dan amerika. Jadi buat para pembaca yang ingin menjadikan kulitnya eksotis maka bertanilah di sawah dari pagi sampe sore hari.
Naaaaah,  itu tadi tantangan kita saat memanen padi di sawah. Yang di atas itu baru membahas saat memanen padi di sawah, belum saat menanam dan merawatnya. Menanam padi juga melelahkan, apalagi saat kita merawatnya itu juga membutuhkan tenaga yang besar, dari yang kita harus mengangkut mesin air, menunggu sawah, serta hal-hal yang melelahkan lainnya yang mungkin belum di rasakan oleh orang lain selain petani. Ya tidak semua bekerja sebagai petani itu merugikan, ada juga pengalaman yang gak pernah dirasakan orang biasa selain petani. Contohnya ini

1.       Makan di sawah itu lebih nikmat
Entah kenapa kalau kita makan atau sarapan di sawah itu lebih nikmat, mungkin dari tempatnya yang gak bakalan bisa di bandingin dengan tempat lain.
2.       Terhindar dari sakit
Ya banyak riset membuktikan kalau para petani itu jarang sakit. Itu menandakan bahwa tubuh petani kebal terhadap penyakit, ya mungkin karena kerja mereka yang ikhlas untuk memberikan beras terbaik bagi masyarakat. Maka dari itu petani di berikan kesehatan oleh Allah SWT untuk tetap fit berkerja.
3.       Tubuh yang proporsional dan kuat
Ini juga termasuk keuntungan menjadi petani yaitu kuat dan tubuh ideal. Menurut saya sendiri petani yang gemuk itu bisa di itung dengan jari, ya sangat jarang petani yang gemuk. Jadi buat para pembaca yang ingin diet atau mengolah tubuh menjadi ideal itu ya cobalah menjadi petani. Selain itu tubuh juga kuat, mungkin karena sering berkerja keras menjadi kebiasaan yang lumrah sehingga tubuh menjadi kuat dengan sendirinya.
4.       Belajar bersyukur
Ya, menjadi petani mengajarkan kita untuk bersyukur. Bersyukur dalam arti tidak protes dengan yang dipunyai serta tidak haus harta. Dibandingkan para pejabat di gedung pemerintahan sana dengan petani, kejadian korupsi itu hanya ada di gedung pemerintahan dan mungkin di sector pertanian itu jarang bahkan hampir tidak ada yang namanya korupsi.
5.       Belajar untuk menjadi orang yang susah
Ada yang bilang “jika ingin sukses itu harus belajar dulu kerasnya hidup di dunia, baru bisa kita nikmati hasilnya di akhir” . ya mungkin itu bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak bermalas-malasan di dunia serta belajar kerasnya hidup di dunia ini, supaya tidak kaget jika kita di masadepan jatuh miskin. Kita sudah punya bekal bahwa kita dulu berawal dari bawah dan kita siap untuk bangkit kembali. Hidup itu keras kawan “jika kita tidak menginjak, maka kita sendiri yang akan diinjak-injak oleh penjahat berijazah di atas sana” itu prinsip saya. Maka dari itu siapkan diri untuk menginjak-injak penjahat berijazah atau biasa disebut preman Negara alias koruptor.

 Semoga bermanfaat kawan sekaligus pembaca_