Hari
ini tidak kalah ramai dari kemarin. Sudah biasa, anak-anak kecil membludak di
masjid setiap sore hari bulan Romadhon untuk TPA. Aku berada ditengah-tengah
mereka, membimbing dan mendidik mereka sebagaimana mestinya.
Anak-anak
tidak terlalu terkesan dengan caraku berkomunikasi dengan mereka. Mungkin
karena aku juga tidak terlalu menyukai anak-anak. Terlebih lagi aku mengampu
anak kelas 3 SD, dan mereka selalu bosan setiap kali aku mengajar, sehingga
mereka lebih memilih untuk lari-larian bersama teman-temannya.
“Sekarang
kita akan belajar tentang sholat, ada yang tau sholat ada berapa?” ujarku
lantang.
“Limaaaa..,”
jawab mereka.
“Mamat,
sebutkan satu persatu!”
“Shubuh,
Dzuhur, …”
Mataku
tidak fokus menyimak apa yang dikatakan Mamat, ekor mataku terganggu oleh suara
seorang anak yang berlarian. Benar saja, anak itu lagi.
“Aufa,
sini duduk! Apa susahnya sih duduk yang anteng, ndengerin!”
Aufa
merengut. Dia salah satu anak yang paling menyebalkan karena nggak pernah memperhatikan
penjelasanku. Dia duduk paling banter hanya dua menit, sebelum akhirnya kembali
berlarian. Dan yang lebih mengesalkan lagi, dia memprovokasi teman-temannya
untuk ikut berlarian.
Aku
pernah mendengar kalau anak yang nakal biasanya hanya ingin mencari perhatian
dari orang lain. Mereka mau belajar, hanya saja kita harus tau cara belajar
yang nyaman untuknya. Aku mendengus, apanya yang mau belajar, sudah bagus kalau
dia mau duduk tenang. Mendengarkan.
“Tuh
kan nggak didengerin,” Mamat mendengus.
Aku
tertegun, “eh iya, iya, dilanjutin.”
Justru
si Aufa yang nyeletuk, “haha, nggak bisa ngelanjutin ya?”
Kujewer
telinga Aufa, “daritadi main-main terus, emang kamu bisa?”
Aufa
meringis sambil mengelak, “lha aku bosen. Eh mas, main game hape aja dong.”
Ingin
rasanya kujewer telinganya lebih kencang, tapi dia sudah meloloskan diri dari
radius tanganku yang akan menjewernya.
Aku
geleng-geleng kepala, “sekarang kita hafalan doa aja yaa. Siapa yang sudah
hafal doa untuk kedua orang tuaa?”
Hampir
semua anak mengacungkan tangan, kecuali tiga anak, yang tentunya ada Aufa
diantara mereka. Aku berhasil menarik tangannya sebelum dia berhasil bangun
untuk lari-larian lagi. “yang sudah hafal setoran sama Mas Zaki ya, kamu tetep
disini, tak ajarin doanya.” Kataku sambil menatap tajam mata Aufa.
Aufa
merengut lagi, “halah mas, mas, mending maen hape aja kayak kemaren.” Aku
melotot, aku benar-benar menyesal kenapa
kemarin aku mengajak mereka bermain hape.
“Gini
aja, kamu tak ajarin doa untuk kedua orangtua, kalo bisa hafal tak kasih
hapenya ke kamu, maen sepuasnya sampe adzan maghrib. Gimana?”
Aufa
tidak menjawab, tapi ekspresinya sedikit berubah. Tanpa basa-basi, aku
menuntunnya membaca doa untuk kedua orang tua itu kata per kata. Dia hanya
menirukan tanpa semangat. Mungkin dalam benaknya ia hanya ingin bermain hape,
tidak ada yang lain.
“Robbighfirli,
robbighfirli, robbighfirli, ulang sepuluh kali.”
Aufa
hanya menirukan saja. Aku tidak peduli, terus kutuntun dia membaca doa itu,
kata per kata.
“Wa
liwaalidayya, wa liwaalidayya, ulang juga sepuluh kali.”
Ia tidak menolak, ia mengikuti setiap kata
yang kubaca. Tanpa kuduga, ia bisa melafalkannya lebih baik dari
teman-temannya, walau belum hafal sepenuhnya.
“Udah
aja mas, bosen!” Aufa menarik tangannya dari genggamanku, lalu tiduran. Mungkin
dia lelah berlarian. Aku benar-benar kesal, kukira dia sudah mau belajar. Tapi
aku tidak menunjukkan kekesalanku padanya, karena aku tahu ia akan menjadi
lebih liar dari sebelumnya apabila aku menegurnya. Aku hampir kehabisan ide
untuk mengajar anak ini.
“Kalo
hari ini kamu hafal, dan besok masih hafal doa ini, tak kasih lima ribu deh,
gimana?” ujarku putus asa. Tiba-tiba dia bangun, setuju.
Dasar
anak-anaaaak!
Aku mendengus dalam hati, kalau setiap hari harus
diiming-imingi seperti ini, bisa dipastikan aku sudah bangkrut total di hari
terakhir TPA. Tapi untungnya kali ini dia lebih serius menghafal. Tapi
konsentrasinya buyar saat teman-temannya mengganggunya.
“Halah,
Faaa, sok-sokan banget pake hafalan doa segala.”
Aufa
kesal, tapi anehnya, dia tidak membalas perkataan mereka. Teman-temannya heran,
aku juga heran.
“Nggak
usah didengerin, fokus hafalan aja.” Aku mencoba mengajaknya untuk fokus
kembali. Aufa juga mencoba untuk mengulangi hafalannya, mengabaikan
teman-temannya. Tapi yang mengejek-nya tidak hanya satu dua orang, membuatnya
kesal dan dia benar-benar berhenti.
“Udah
lah mas, nggak bakalan hafal juga.” Kata Aufa pesimis.
“Besok
kukasih lima ribu, lho.” Ujarku mengiming-iminginya. Dia tetap tidak bergeming,
diam seribu bahasa. Aku terus membujuknya untuk mengulang hafalannya sekali
lagi, tapi dia tetap diam. Kesal.
Aku
ikut terdiam. Beberapa menit berlalu dan aku masih terdiam menatap Aufa yang
kini tidur-tiduran di tikar, melamun.
“Dicoba
sekali lagi, Fa. Sekaliii lagi.”
Aufa
menengok.
“Sekali aja.”
Ia terdiam
sejenak. Tanpa kuduga-duga, ia membaca doa itu, tersendat-sendat.
“Robbighfirli..wa
liwaalidayya..warhamhumaa kamaa robbayanii soghiroo.”
Aku tertegun. Dia berhasil menghafal doanya,
tidak ada masalah. Mungkin agak berlebihan, tapi aku benar-benar terharu
mendengarnya.
Aufa
sendiri terheran-heran dengan doa yang barusan dilantunkannya, ia tidak mengira
akan berhasil menghafalkan doa tersebut. Matanya berbinar-binar. Aku
menyerahkan hapeku kepadanya, dan membiarkannya bermain game dengan muka yang
berseri-seri. Dia bahkan mengajak teman-temannya untuk bermain bersamanya
dengan wajah yang sangat manis.
Sore
itu, aku melihat wajah Aufa yang benar-benar ceria.
No comments:
Post a Comment